Waspadai Sindrom Turner, Bisa Dicegah Sejak Dini
TECHNO NEWS|Tak sedikit orang tua yang menganggap perawakan pendek pada anak perempuan sebagai hal biasa. Tapi siapa sangka, kondisi tersebut bisa jadi tanda awal Sindrom Turner—kelainan genetik langka yang hanya menyerang anak perempuan, dan bisa berdampak besar jika tak ditangani sejak dini.
Sindrom Turner terjadi pada sekitar 1 dari 2.000 hingga 2.500 bayi perempuan di dunia. Sayangnya, tingkat kesadaran masyarakat terhadap kondisi ini masih sangat rendah, termasuk di Indonesia. Karena itu, Yayasan Kesehatan Anak Global (YKAG) bersama Turner Syndrome Society Indonesia menggelar webinar nasional untuk membahas pentingnya deteksi dan dukungan bagi anak dengan Sindrom Turner.
“Pasien Sindrom Turner saya ada yang kuliah di luar negeri, jadi dokter, psikolog, pengacara. Mereka bisa berhasil, asal terdeteksi lebih awal dan diberi perawatan yang sesuai,” ujar Ketua YKAG, Prof. Dr. dr. Aman Pulungan, Sp.A(K), saat membuka webinar bertajuk
Kupas Tuntas Sindrom Turner: Deteksi, Perawatan, dan Dukungan.
Gejala Sindrom Turner bisa muncul sejak bayi dalam kandungan—mulai dari pembengkakan di leher (higroma kistik), tangan dan kaki bengkak saat lahir, hingga perawakan pendek yang menetap saat anak tumbuh. Di usia remaja, mereka umumnya mengalami gagal pubertas, tidak mengalami haid, hingga berisiko infertilitas.
Menurut dr. Karina Sugih Arto, Sp.A(K), banyak orang tua yang terlambat menyadari kondisi ini karena gejalanya tidak langsung terlihat serius. “Padahal, perawakan pendek yang konsisten dari masa kecil harusnya jadi alarm awal. Anak tidak boleh terus-menerus dibandingkan hanya dengan saudara kandung. Lihat juga standar tinggi badan seusianya,” jelasnya.
Sementara itu, dr. Ismi Citra Ismail, Sp.A(K) menekankan pentingnya pendampingan menyeluruh saat masa pubertas. Ia menyebut ada lima hal krusial yang harus diperhatikan: pemantauan usia tulang, kesiapan mental anak, pemberian hormon estrogen sejak usia 11–12 tahun, dukungan psikososial, dan edukasi reproduksi yang sensitif.
Bukan hanya fisik, dampak psikologis Sindrom Turner pun tak bisa diabaikan. Dukungan keluarga, tenaga medis, dan lingkungan sangat penting agar anak tumbuh dengan rasa percaya diri. “Mereka bisa punya masa depan cerah seperti anak lainnya, kalau kita peduli dan tanggap,” kata Prof. Aman.
Webinar ini menjadi ajakan terbuka bagi orang tua, guru, dan seluruh elemen masyarakat untuk lebih awas terhadap tumbuh kembang anak perempuan. Jangan sampai penanganan terlambat membuat anak kehilangan kesempatan meraih potensi terbaiknya. (HK)